Kamis, 16 Mei 2013

pematauan obat terapetik

pemantaun teraupeti


 Pemantauan Obat Terapetik
(Terapetik Drug Monitoring)

A.    Pendahuluan
Obat dapat didefenisikan sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.(1) Dalam penggunaan terapi suatu obat perlu dinyatakan kondisi patologik spesifik di mana obat itu digunakan. Umumnya obat mempunyai lebih dari satu aksi atau efek.(2)
Nasib obat dalam badan meliputi metabolism dan ekskresi obat. Perlu diketahui dan diperhatikan pada pasien yang fungsi hati atau ginjalnya tidak normal, mengenai apakah obat yang diiberikan dapat dimetabolisme atau tidak. Keadaan dimana perbedaaan individu satu dengan individu lainnya dapat mempengaruhi absorbs, distribusi, biotranformasi dan eksresi. Faktor-faktor tersebut adalah berat badan, umur, jenis kelamin, kondisi patologi, dan idiosinkrasi.(2)
 Keberhasilan terapi dengan obat sangat bergantung pada rancangan aturan dosis. Suatu aturan dosis   yang dirancang tepat, merupakan usaha untuk mencapai konsentrasi obat optimum pada reseptor untuk menghasilkan respons terapetik yang optimal dengan efek merugikan yang minimum. Perbedaan individu dalam farmakokinetika dan farmakodinamika membuat sulit rancangan aturan dosis. Oleh karena itu, penggunaan farmakokinetika untuk rancangan aturan dosis harus diselaraskan dengan penilaian dan pemantauan klinik yang tepat.(3)
Perubahan antar penderita dalam hal absorbsi, distribusi dan eliminasi obat maupun perubahan kondisi patofisiologik penderita, maka dalam beberapa rumah sakit telah ditetapkan adanya pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) untuk menilai respons penderita terhadap aturan dosis yang dianjurkan.(3)



B.     Isi(3)
Dalam pemberian obat-obat yang poten kepada penderita, sudah seharusnya mempertahankan kadar obat dalam plasma berada dalam batas yang dekat dengan konsentrasi terapetik. Berbagai metode farmakokinetika dapat digunakan untuk menghitung dosis awal atau untuk aturan dosis. Tetapi karena adanya perbedaan individu dalam farmakokinetika dan farmakodinamika membuat sulit rancangan aturan dosis maka perlu adanya pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) untuk menilai respons penerita terhadap aturan dosis yang dianjurkan. Fungsi dari pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) adalah sebagai berikut:
1.   Memilih obat
Pemilihan obat dan terapi dengan obat biasanya dilakukan oleh dokter. Akan tetapi banyak praktisi berunding dengan farmasis klinik dalam memilih produk obat dan merancang aturan dosis.
Pemilihan terapi dengan obat biasanya dibuat atas dasar diagnosis fisik penderita, adanya berbagai masalah patofisiologik pada penderita, riwayat pengobatan penderita sebelumnya, terapi obat yang bersamaan, alergi atau kepekaan yang diketahui dan aksi farmakodinamik obat.
2.   Rancangan aturan dosis
Setelah obat yang tepat dipilih untuk penderita, ada sejumlah factor yang harus dipertimbangkan pada waktu merancang aturan dosis terapetik. Pertama, pertimbangan farmakokinetika yang umum dari obat yang meliputi profil absorbsi, distribusi dan eliminasi pada penderita. Kedua, pertimbangan fisisologi penderita seperti umur, berat badan, jenis kelamin, dan status nutrisi. Ketiga, setiap kondisi patofisiologik seperti tidak berfungsinya ginjal, penyakit hati, dan kegagalan jantung congestive, dipertimbangkan karena dapat mempengaruhi profil farmakokinetika normal obat. Keempat, hendaknya dipertimbangkan exposure  penderita terhadap pengobatan yang lain atau faktor-faktor lingkungan seperti merokok yang mungkin juga dapat mengubah farmakokinetik yang umum. Kelima, rancangan aturan dosis seharusnya mempertimbangkan sasaran konsentrasi obat pada reseptor penderita yang meliputi berbagai perubahan kepekaan reseptor terhadap obat.
3.   Penilaian respon penderita
Setelah suatau produk obat dipilih dan penderita menerima aturan dosis awal, praktisi hendaknya menilai secara klinik respons penderita. Jika penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat seperti yang diharapkan, maka obat dan aturan dosis hendaknya ditinjau kembali. Aturan dosis hendaknya ditinjau kembali tentang kecukupan, ketelitian dan kepatuhan penderita terhadap terapi obat. Praktisi hendaknya menentukan perlunya atau tidak  konsentrasi obat dalam serum peenderita diukur. Dalam banyak keadaan keputusan klinik dapat menghindari perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum.
4.   Pengukuran konsentrasi obat dalam serum
Sebelum cuplikan darah diambil dari penderita, praktisi hendaknya menetapkan apakah diperlukan pengukuran konsentrasi obat dalam serum. Dalam beberapa hal respons penderita tidak dapat dikaitkan dengan konsentrasi obat dalam serum. Sebagai contoh, alergi dan rasa mual ringan tidak dapat dikaitkan dengan dosis.
Sebagian besar anggapan yang dibuat oleh praktisi menyatakan bahwa konsentrasi obat dalam serum berkaitan dengan efek terapetik dan efek toksik obat. Untuk banyak obat, studi klinik telah menunjukkan bahwa ada suatu rentang efektif terapetik dari konsentrasi obat dalam serum. Oleh karena itu, pengetahuan tentang konsentrasi obat dalam serum dapat menjelaskan mengapa seorang penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat, atau mengapa penderita mengalami suatu efek yang tidak diinginkan. Sebagai tambahan, praktisi mungkin ingin menjelaskan ketelitian dari aturan dosis.
Pada pengukuran konsentrasi obat dalam serum, suatu konsentrasi tertinggal dari obat dalam serum dapat menghasilkan informasi obat yang berguna kecuali kalau factor-faktor lain dipertimbangkan.sebagai contoh, aturan obat yang meliputi besaran dan jarak pemberian dosis, rute pemberian obat, serta waktu pengambilan cuplikan (pucak palung atau keadaan tunak), hendaknya diketahui.
Dalam banyak hal cuplikan darah tunggal tidak mencukupi oleh karena itu beberapa cuplikan darah diperlukan untuk menjelaskan kecukupan aturan dosis. Dalam praktek, konsentrasi palung serum lebih mudah diperoleh daripada cuplikan puncak selama pemberiaan dosis ganda. sebagai tambahan, mungkin ada keterbatasan dalam hal jumlah cuplikan darah yang dapat diambil, keseluruhan volume darah yang diperlukan untuk penetapan kadar, dan awaktu untuk analisis obat. Praktisi yang melakukan pengukuran konsentrasi serum hendaknya juga mempertimbangkan biaya penetapan kadar, risiko, dan ketidaksenangan penderita, dan kegunaan informasi yang diperoleh.
5. Penetapan kadar obat
              Analisa obat biasanya dilakukan oleh laboratorium kimia klinik atau laboratorium farmakukinetik klinik. Laboratorium hendaknya mempunyai suatu standar prosedur penyelenggaraan untuk tiap teknik analisa obat dan mengikuti cara-cara pelaksanaan laboratorium yang baik. Lebih lanjut, metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar obat dalam serum hendaknnya telah sahih, berkenaan dengan hal-hal seperti spesifitas, linearitas, kepakaan, ketepatan, ketelitian, dan stabilitas.
a.      Spesifitas
Spesifitas hendaknya ditetapkan dengan percobaan melalui bukti kromatografi bahwa metode spesifik untuk obat. Metode hendaknya menunjukkan bahwa tidak ada gangguan antar obat, metabolit-metabolit obat, dan zat-zat endogen atau eksogen. Sebagai tambahan, standar internal hendaknya dapat dipisahkan secara lengkap dan menunjukkan tidak adanya gangguan senyawa-senyawa lain. Penetapan kadar secara kolorimetrik dan spektrofotometrik biasanya kurang spesifik.


b.      Kepekaan
Kepekaan adalah kadar minimum yang dapat terdeteksi atau konsentrasi obat dalam serum yang dapat diperkirakan sama dengan konsentrasi terendah obat yaitu 2-3 kali gangguan. Kadar minimum yang dapat diukur adalah metode statistik untuk penentuan ketepatan pada kadar terendah.
c.       Linearitas
Penetapan kadar harus menunjukkan linearitas yang sesuai dengan menggunakan konsentrasi standar yang dikerjakan dengan cara tertentu, mencakup rentang konsentrasi yang tidak diketahui yang diperkirakan. Linearitas menunjukkan hubungan proposional antara konsentrasi obat dan respon instrument yang dipergunakan untuk mengukur obat.
d.      Ketepatan
Ketepatan berkaitan dengan variasi atau reproducibility data. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh dari pengukuran ulang dari berbagai konsentrasi obat dan dengan melalui pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada hari yng berbeda. Kemudian dilakukan penghitungan statistik yang sesuai dari penyebaran data, seperti penimpangan atau koefesien variasi.
e.       Ketelitian
Ketelitian menunjukkan perbedaan antara harga penetapan kadar rata-rata dan harga yang sebenarnya atau konsentrasi yang diketahui. Konsentrasi kontrol obat dalam serum yang diketahui hendaknya disiapkan oleh seorang teknisi bebas yang menggunakan teknik sedemikian rupa untuk memperkecil berbagai kesalahan dalam penyiapannya. Cuplikan-cuplikan ini yang meliputi konsentrasi obat nol, ditetapkan kadarnya oleh teknisi yang ditugaskan untuk meneliti dengan menggunakan suatu kurva konsentrasi obat standar yang sesuai.

f.       Stabilitas
Konsentrasi obat standar hendaknya dipertahankan dalam kondisi penyimpanan yang sama seperti halnya kondisi cuplikan serum yang tidak diketahui dan ditetapkan kadarnya secara periodik. Penelitian stabilitas hendaknya berlanjut paling sedikit waktunya sama seperti waktu yang diperlukan untuk penyimpanan cuplikan yang diteliti. Cuplikan serum yang diperoleh dari subjek pada waktu penelitian obat, hendaknya ditetapkan kadarnya bersama-sama dengan minimum tiga cuplikan serum standar yang mengandung konsentrasi obat standar yang telah diketahui, dan minimum tiga cuplikan serum kontrol yang konsentrasinya tidak diketahui oleh analis. Cuplikan control hendaknya diulangi dua kali untuk menilai ketepatan dalam satu hari, dan ketepatan antar hari yang satu dengan yang lain. Konsentrasi obat dalam tiap cuplikan serum didasarkan atas kurva standar yang dibuat tiap hari penetapan kadar. Karena tiap metode penetapan kadar  obat mempunyai perbedaan kepekaan, ketepatan, dan spesifisitas, maka ahli farmakokinetika hendaknya memahami metode penetapan kadar obat yang mana yang digunakan dalam laboratorium.
6. Penilaian secara farmakokinetik
Setelah konsentrasi obat dalam serum dukur, ahli farmakokinetik hendaknya menilai data secara tepat. Sebagian besar laboratorium melaporkan konsentrasi total obat yaitu obat bebas dan obat yang terikat dalam serum. Ahli farmakokinetika hendaknya mengetahui rentang terapeutik yang umum dari konsentrasi obat dalam serum dari kepustakaan. Tetapi kepustakaan mungkin tidak menunjukkan jika harga-harga tersebut merupakan kadar palung atau kadar puncak. Lebih lanjut, penetapan kadar yang digunakan dalam melaporkan metodologi mungkin berbeda dalam hal spesifisitas dan ketepatan.
Hasil penetapan kadar dari laboratorium dapat menunjukkan bahwa kadar obat dalam serum penderita lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan kadar serum yang diharapkan. Ahli farmakokinetik  hendaknya menilai hasil ini secara hati-hati dengan memperimbangkan kondisi dan patofisologik penderita. Sebagai tambahan, keluhan penderita adanya rangsangan yang berlebihan dan insomnia, mungkin juga berkaitan dengan penemuan dari konsentrasi teofilin yang lebih tinggi daripada konsentrasi teofilin dalam serum yang diharapkan. Oleh karena itu dokter atau ahli farmakokinetik hendaknya menilai data dengan menggunakan pertimbangan medik.
7.   Penyesuaian dosis
Dari data konsentrasi obat dalam serum dan observasi penderita, dokter atau ahli farmakokinetika dapat menganjurkan adanya penyesuaian dalam aturan dosis. Secara ideal aturan dosis yang baru hendaknya dihitung dengan menggunakan parameter-parameter farmakokinetik yang didapat dari konsentrasi obat dalam serum penderita. Walau mungkin tidak cukup data untuk suatau profil farmakokinetik yang lengkap, ahli farmakokinetik harus dapat memperoleh aturan dosis yang baru yang didasarkan atas data yang dapat diperoleh dan parameter farmakokinetik dalam kepustakaan yang didasarkan atas data populasi rata-rata.
8.   Pemantauan konsentrasi obat dalam serum
Dalam beberapa kasus, patofisiologi penderita mungkin tidak stabil, apakah membaik atau memburuk. Sebagai contoh, terapi yang tepat untuk kegagalan jantung congestive akan memperbaiki curah jantung dan perfusi ginjal, sehingga menaikkan klirens ginjal dari obat. Oleh karena itu perlu pemantauan yang berkesinambungan dari konsentrasi obat dalam serum untu meyakinkan terapi obat yang tepat pada penderita. Untuk beberapa obat respons farmakologik akut dapat dipantau sebagai pengganti konsentrasi obat dalam serum yang sebenarnya. Sebagai contoh, waktu pembekuan protrombin mungkin berguna untuk pemantauan terapi antikoagualan dan pemantauan tekananan darah untuk obat hipotensive.



9.   Rekomendasi khusus
Pada suatau waktu karena faktor-faktor lain penderita mungkin tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat. Sebagai contoh, penderita tidak mematuhi intruksi pengobatan (kepatuhan penderita). Penderita mungkin memakai obat setelah makan yang seharusnya sebelum makan. Penderita tidak mematuhi diet khusus (misal, rendah garam). Oleh karena itu, penderita mungkin membutuhkan instruksi khusus yang sederhan dan mudah diikuti.
10.  Rancangan aturan dosis
Ada berbagai metode yand dapat digunakan untuk merancang suatu aturan dosis. Pada umunya, dosis awal obat diperkirakan dengan menggunakan parameter farmakokinetik populasi rata-rata yang diperoleh dari kepustakaan. Kemudian respon terapetik penderita dipantau melalui diagnosis fisik. Dan jika perlu melalui pengukuran kadar obat dalam serum. Setelah penilaian dilakukan pada penderita, maka suatu penyesuian kembali aturan dosis dapat ditujukkan dengan pemantauan terapetik obat lebih lanjut.
11.   Aturan dosis secara individual
Pendekan yang paling teliti untuk racangan aturan dosis adalah perhitungan dosis yang didasarkan atas farmakokinetik obat pada penderita. Pendekatan ini tidak memungkinkan untuk perhitungan dosis awal. Segera sesudah penderita mendapat pengobatan, penyesuaian kembali dosis dapat dihitung dengan menggunakan parameter-parameter yang didapat dari pengukuran kadar obat dalam serum setelah dosis awal.
12.     Aturan dosis didasarkan atas harga rata-rata populasi
Metode yang paling sering digunakan untuk menghitung aturan dosis disasarkan atas parameter farmakokinetik rata-rata yang diperoleh dari studi klinik yang telah diterbitkan dalam kepustakaan obat. Metode ini dapat didasarkan atas suatu model yang pasti atau yang disesuaikan.
Dalam model yang pasti dianggap bahwa parameter farmakokinetik rata populasi dapat digunakan secara langsung untuk menghitung aturan dosis penderita tanpa suatu perubahan. Biasanya parameter farmakokinetik, seperti tetapan laju absorbsi, faktor bioavaibilitas, volume distribusu dan tetapan laju eliminasi, dianggap tetap. Paling sering obat dianggap mengikuti farmakokinetik model kompartemen satu. Bila suatu aturan dosis ganda dirancang, maka untuk menilai dosis digunakan persamaan dosis ganda yang didasarkan prinsip “superposisi”. Praktisi dapat menggunakan dosis yang lazim dianjurkan oleh kepuatakaan, dan juga membuat penyesuaian sedikit dari dosis yang didasarkan atas berat badan dan atau umur penderita.
Bila menggunakan model yang disesuaikan untuk menghitung suatu aturan dosis, ahli farmakokinetik menggunakan variable-variabel penderita seperti berat badan, umur, jenis kelamin, dan luas permukaan tubuh, serta patofisisologi penderita yang diketahui seperti penyakit ginjal, dan juga parameter farmakokinetik obat rata-rata populasi yang diketahui. Dalam hal ini, perhitungan aturan dosis perlu mempertimbangkan berbagai perubahan patofisisologi penderita dan berusaha menyesuaikan atau memodifikasi aturan dosis menurut kebutuhan penderita.
13.    Penentuan dosis
Dosis suatu obat diperkirakan dengan tujuan dapat memberikan kadar terapetik obat yang diinginkan dalam tubuh. untuk banyak obat, kadar terapetik dan parameter farmakokinetik obat yang diinginkan terdapat dalam kepustakaan klinik.. akan tetapi kepustakaan dalam beberapa hal mungkin tidak memberikan informasi obat yang lengkap, atau informasi yang ada mungkin sebagian meragukan. Oleh karena itu, ahli farmakokinetik harus membuat anggapan (asumsi) tertentu yang diperlukan sesuai dengan informasi farmakokinetik yang terbaik yang ada.
Suatu obat yang diberikan untuk jangka panjang, dosis biasanya dihitung sedemikian sehingga kadar tunak dalam darah rata-rata berada dalam rentang terapetik.

14.  Penentuan frekuensi pemberian obat 
Besarnya suatu dosis obat sering dikaitkan dengan frekuensi pemberian obat. Makin sering suatu obat diberikan, dosis harus lebih kecil. Jadi, dosis 250 mg setiap 3 jam dapat berubah menjadi 500 mg setiap 6 jam tanpa mempengaruhi konsentrasi tunak rata-rata obat dalam plasma. Akan tetapi, bila jarak waktu pemberian dosis lebih panjang, maka besaran dosis yang diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi rata-rata obat dalam plasma yang bersesuaian menjadi lebih besar. Bila dipilh suatu jarak waktu pemberian dosis yang snagt panjagn, maka dosis yang besar dapat menghasilkan kadar puncak dalam plasma diatas konsentrasi toksik obat, walau tetap sama. Pada umunya, jarak waktu pemberian dosis untuk sebagian besar obat ditentukan oleh waktu paruh eliminasi.
15.  Penentuan rute pemberian
Pemilihan rute pemberian yang tepat merupakan pertimbangan yang penting dalam terapi dengan obat. Laju absorbsi dan lama kerja obat dipengaruhi oleh rute pemberian obat. Lebih lanjut, sering ada pertimbangan fisiologik yang menghindari penggunaan rute tertentu pemberian obat. Obat-obatan yang tidak satabil dalam saluran cerna atau obat-obatan yang mengalami first pass effect yang besar tidak sesuai untuk pemberian oral. Sebagai contoh, insulin dirusak dalam lambung, obat-obatnya seperti xilokain dan nitrogliserin tidak sesuai untuk pemberian oral karena obat hilang dengan cepat disebabkan oleh first pass effect.
Obat-obat tertentu tidak sesuai untuk pemberian secara intramuskular, disebabkan oleh pelepasan obat yang tidak menentu, rasa sakit, atau iritasi lokal. Pemberian intravena merupakan cara penghantaran obat tercepat ke dalam system sirkulasi dan cara yang paling diandalkan. Obat yang diberikan secara i.v hilang secara lebih cepat karena seluruh dosis dengan segera mengalami eliminasi.
16.  Pemberian dosis obat pada bayi
Pemberian dosis obat pada bayi memerlukan suatu pertimbangan yang seksama terhadap perbedaan antara bayi dan orang dewasa sehubungan dengan farmakokinetika dan farmakologi obat. Perbedaan komposisi tubuh dan kesempurnaan pertumbuhan hati dan fungsi ginjal merupakan perbedaan yang potensial dalam farmakokinetika yang berhubungan dengan umur.
Pada umumnya, fungsi hepatic belum tercapai sampai minggu ketiga. Bayi yang baru lahir menunjukkan aktivitas ginjal hanya 30 – 50 %. Obat-obat yang sangat bergantung pada ekskresi ginjal akan mengalami kenaikan waktu paruh eliminasi yang tajam.
17.  Pemberian dosis obat pada orabg usia lanjut
Perubahan fisisologik yang disebabkan oleh umur boleh jadi memerlukan pertimbangan khusus dalam memberikan obat pada orang usia lanjut. Komposisi tubuh dari penderita usia lanjut berubah dalam banyak hal. jaringan lemak naik dan proses metabolit lambat. Sebagai contoh obat-obat yang larut dalam lemak dapat berubah volume distribusinya sehubungan dengan kenaikkan jumlah jaringan lemak.
18.  Pemberian dosis pada penderita obese
Penderita obese mempunyai akumulasi jaringan lemak yang lebih besar dari pada keperluan untuk fungsi tubuh normal. Menurut data metropolitan life insurance, penderita dianggap obese jika berat bada melebihi 20% berat badan ideal. Lain halnya, atlit yang mempunyai berat badan yang lebih besar sehubungan dengan massa otot yang lebih besar tidak dianggap obese. Penderita obese mempunyai proporsi keseluruhan cairan tubuh terhadap keseluruhan berat badan yang lebih kecil dibandingkan penderita dengan berat badan ideal yang dapat memperngaruhi volume distribusi obat. Parameter-parameter farmakokinetik yang lain pada penderita obese dapat berubah sehubungan dengan kemungkinan perubahan fisiologik.





C.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa karena adanya perbedaan individu dalam farmakokinetika dan farmakodinamika membuat sulit rancangan aturan dosis, maka perlu adanya pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) untuk menilai respons penderita terhadap aturan dosis yang dianjurkan.
Adapun Fungsi dari pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) adalah untuk memilih obat, merancang aturan dosis, menentukan perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum, menetapkan kadar obat, melakukan penilaian secara farmakokinetik kadar obat, menyesuaikan kembali aturan dosis, memantau konsentrasi obat dalam serum, dan menganjurkan adanya persyaratan khusus.



















                                      Daftar Pustaka

1.      Gan Gunawan, Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
            Gaya baru.
2. Anief, Moh. 1983. Ilmu Farmasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
3. Shargel, Leon. 2005. Biofarmasetika dan farmakokinetika terapan. Surabaya:
                Airlanggga University Press.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar