Pemantauan Obat Terapetik
(Terapetik Drug Monitoring)
A.
Pendahuluan
Obat dapat
didefenisikan sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis,
mengurangi rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau
hewan.(1) Dalam penggunaan terapi suatu obat perlu dinyatakan
kondisi patologik spesifik di mana obat itu digunakan. Umumnya obat mempunyai
lebih dari satu aksi atau efek.(2)
Nasib obat dalam
badan meliputi metabolism dan ekskresi obat. Perlu diketahui dan diperhatikan
pada pasien yang fungsi hati atau ginjalnya tidak normal, mengenai apakah obat
yang diiberikan dapat dimetabolisme atau tidak. Keadaan dimana perbedaaan
individu satu dengan individu lainnya dapat mempengaruhi absorbs, distribusi,
biotranformasi dan eksresi. Faktor-faktor tersebut adalah berat badan, umur,
jenis kelamin, kondisi patologi, dan idiosinkrasi.(2)
Keberhasilan terapi dengan obat sangat
bergantung pada rancangan aturan dosis. Suatu aturan dosis yang dirancang tepat, merupakan usaha untuk mencapai
konsentrasi obat optimum pada reseptor untuk menghasilkan respons terapetik
yang optimal dengan efek merugikan yang minimum. Perbedaan individu dalam
farmakokinetika dan farmakodinamika membuat sulit rancangan aturan dosis. Oleh
karena itu, penggunaan farmakokinetika untuk rancangan aturan dosis harus
diselaraskan dengan penilaian dan pemantauan klinik yang tepat.(3)
Perubahan antar
penderita dalam hal absorbsi, distribusi dan eliminasi obat maupun perubahan
kondisi patofisiologik penderita, maka dalam beberapa rumah sakit telah
ditetapkan adanya pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) untuk menilai
respons penderita terhadap aturan dosis yang dianjurkan.(3)
B.
Isi(3)
Dalam pemberian
obat-obat yang poten kepada penderita, sudah seharusnya mempertahankan kadar
obat dalam plasma berada dalam batas yang dekat dengan konsentrasi terapetik.
Berbagai metode farmakokinetika dapat digunakan untuk menghitung dosis awal
atau untuk aturan dosis. Tetapi karena adanya perbedaan individu dalam
farmakokinetika dan farmakodinamika membuat sulit rancangan aturan dosis maka
perlu adanya pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) untuk menilai respons
penerita terhadap aturan dosis yang dianjurkan. Fungsi dari pelayanan
pemantauan terapetik obat (TDM) adalah sebagai berikut:
1.
Memilih
obat
Pemilihan obat
dan terapi dengan obat biasanya dilakukan oleh dokter. Akan tetapi banyak
praktisi berunding dengan farmasis klinik dalam memilih produk obat dan
merancang aturan dosis.
Pemilihan terapi
dengan obat biasanya dibuat atas dasar diagnosis fisik penderita, adanya
berbagai masalah patofisiologik pada penderita, riwayat pengobatan penderita
sebelumnya, terapi obat yang bersamaan, alergi atau kepekaan yang diketahui dan
aksi farmakodinamik obat.
2.
Rancangan
aturan dosis
Setelah obat
yang tepat dipilih untuk penderita, ada sejumlah factor yang harus
dipertimbangkan pada waktu merancang aturan dosis terapetik. Pertama,
pertimbangan farmakokinetika yang umum dari obat yang meliputi profil absorbsi,
distribusi dan eliminasi pada penderita. Kedua, pertimbangan fisisologi
penderita seperti umur, berat badan, jenis kelamin, dan status nutrisi. Ketiga,
setiap kondisi patofisiologik seperti tidak berfungsinya ginjal, penyakit hati,
dan kegagalan jantung congestive, dipertimbangkan karena dapat mempengaruhi
profil farmakokinetika normal obat. Keempat, hendaknya dipertimbangkan exposure
penderita terhadap pengobatan yang lain atau faktor-faktor lingkungan
seperti merokok yang mungkin juga dapat mengubah farmakokinetik yang umum.
Kelima, rancangan aturan dosis seharusnya mempertimbangkan sasaran konsentrasi
obat pada reseptor penderita yang meliputi berbagai perubahan kepekaan reseptor
terhadap obat.
3.
Penilaian
respon penderita
Setelah suatau
produk obat dipilih dan penderita menerima aturan dosis awal, praktisi
hendaknya menilai secara klinik respons penderita. Jika penderita tidak
memberikan reaksi terhadap terapi obat seperti yang diharapkan, maka obat dan
aturan dosis hendaknya ditinjau kembali. Aturan dosis hendaknya ditinjau
kembali tentang kecukupan, ketelitian dan kepatuhan penderita terhadap terapi
obat. Praktisi hendaknya menentukan perlunya atau tidak konsentrasi obat dalam serum peenderita diukur.
Dalam banyak keadaan keputusan klinik dapat menghindari perlunya pengukuran
konsentrasi obat dalam serum.
4.
Pengukuran
konsentrasi obat dalam serum
Sebelum cuplikan
darah diambil dari penderita, praktisi hendaknya menetapkan apakah diperlukan
pengukuran konsentrasi obat dalam serum. Dalam beberapa hal respons penderita
tidak dapat dikaitkan dengan konsentrasi obat dalam serum. Sebagai contoh,
alergi dan rasa mual ringan tidak dapat dikaitkan dengan dosis.
Sebagian besar
anggapan yang dibuat oleh praktisi menyatakan bahwa konsentrasi obat dalam
serum berkaitan dengan efek terapetik dan efek toksik obat. Untuk banyak obat,
studi klinik telah menunjukkan bahwa ada suatu rentang efektif terapetik dari
konsentrasi obat dalam serum. Oleh karena itu, pengetahuan tentang konsentrasi
obat dalam serum dapat menjelaskan mengapa seorang penderita tidak memberikan
reaksi terhadap terapi obat, atau mengapa penderita mengalami suatu efek yang
tidak diinginkan. Sebagai tambahan, praktisi mungkin ingin menjelaskan
ketelitian dari aturan dosis.
Pada pengukuran
konsentrasi obat dalam serum, suatu konsentrasi tertinggal dari obat dalam
serum dapat menghasilkan informasi obat yang berguna kecuali kalau
factor-faktor lain dipertimbangkan.sebagai contoh, aturan obat yang meliputi
besaran dan jarak pemberian dosis, rute pemberian obat, serta waktu pengambilan
cuplikan (pucak palung atau keadaan tunak), hendaknya diketahui.
Dalam banyak hal
cuplikan darah tunggal tidak mencukupi oleh karena itu beberapa cuplikan darah
diperlukan untuk menjelaskan kecukupan aturan dosis. Dalam praktek, konsentrasi
palung serum lebih mudah diperoleh daripada cuplikan puncak selama pemberiaan
dosis ganda. sebagai tambahan, mungkin ada keterbatasan dalam hal jumlah
cuplikan darah yang dapat diambil, keseluruhan volume darah yang diperlukan
untuk penetapan kadar, dan awaktu untuk analisis obat. Praktisi yang melakukan
pengukuran konsentrasi serum hendaknya juga mempertimbangkan biaya penetapan
kadar, risiko, dan ketidaksenangan penderita, dan kegunaan informasi yang diperoleh.
5.
Penetapan kadar obat
Analisa obat biasanya dilakukan
oleh laboratorium kimia klinik atau laboratorium farmakukinetik klinik.
Laboratorium hendaknya mempunyai suatu standar prosedur penyelenggaraan untuk
tiap teknik analisa obat dan mengikuti cara-cara pelaksanaan laboratorium yang
baik. Lebih lanjut, metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar obat
dalam serum hendaknnya telah sahih, berkenaan dengan hal-hal seperti
spesifitas, linearitas, kepakaan, ketepatan, ketelitian, dan stabilitas.
a.
Spesifitas
Spesifitas
hendaknya ditetapkan dengan percobaan melalui bukti kromatografi bahwa metode
spesifik untuk obat. Metode hendaknya menunjukkan bahwa tidak ada gangguan
antar obat, metabolit-metabolit obat, dan zat-zat endogen atau eksogen. Sebagai
tambahan, standar internal hendaknya dapat dipisahkan secara lengkap dan
menunjukkan tidak adanya gangguan senyawa-senyawa lain. Penetapan kadar secara
kolorimetrik dan spektrofotometrik biasanya kurang spesifik.
b.
Kepekaan
Kepekaan adalah
kadar minimum yang dapat terdeteksi atau konsentrasi obat dalam serum yang
dapat diperkirakan sama dengan konsentrasi terendah obat yaitu 2-3 kali
gangguan. Kadar minimum yang dapat diukur adalah metode statistik untuk
penentuan ketepatan pada kadar terendah.
c.
Linearitas
Penetapan kadar
harus menunjukkan linearitas yang sesuai dengan menggunakan konsentrasi standar
yang dikerjakan dengan cara tertentu, mencakup rentang konsentrasi yang tidak
diketahui yang diperkirakan. Linearitas menunjukkan hubungan proposional antara
konsentrasi obat dan respon instrument yang dipergunakan untuk mengukur obat.
d.
Ketepatan
Ketepatan
berkaitan dengan variasi atau reproducibility
data. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh dari pengukuran ulang dari
berbagai konsentrasi obat dan dengan melalui pengukuran ulang kurva konsentrasi
standar yang disiapkan secara terpisah pada hari yng berbeda. Kemudian
dilakukan penghitungan statistik yang sesuai dari penyebaran data, seperti
penimpangan atau koefesien variasi.
e.
Ketelitian
Ketelitian
menunjukkan perbedaan antara harga penetapan kadar rata-rata dan harga yang
sebenarnya atau konsentrasi yang diketahui. Konsentrasi kontrol obat dalam
serum yang diketahui hendaknya disiapkan oleh seorang teknisi bebas yang
menggunakan teknik sedemikian rupa untuk memperkecil berbagai kesalahan dalam
penyiapannya. Cuplikan-cuplikan ini yang meliputi konsentrasi obat nol,
ditetapkan kadarnya oleh teknisi yang ditugaskan untuk meneliti dengan
menggunakan suatu kurva konsentrasi obat standar yang sesuai.
f.
Stabilitas
Konsentrasi obat
standar hendaknya dipertahankan dalam kondisi penyimpanan yang sama seperti
halnya kondisi cuplikan serum yang tidak diketahui dan ditetapkan kadarnya
secara periodik. Penelitian stabilitas hendaknya berlanjut paling sedikit
waktunya sama seperti waktu yang diperlukan untuk penyimpanan cuplikan yang
diteliti. Cuplikan serum yang diperoleh dari subjek pada waktu penelitian obat,
hendaknya ditetapkan kadarnya bersama-sama dengan minimum tiga cuplikan serum
standar yang mengandung konsentrasi obat standar yang telah diketahui, dan
minimum tiga cuplikan serum kontrol yang konsentrasinya tidak diketahui oleh
analis. Cuplikan control hendaknya diulangi dua kali untuk menilai ketepatan
dalam satu hari, dan ketepatan antar hari yang satu dengan yang lain.
Konsentrasi obat dalam tiap cuplikan serum didasarkan atas kurva standar yang
dibuat tiap hari penetapan kadar. Karena tiap metode penetapan kadar obat mempunyai perbedaan kepekaan, ketepatan,
dan spesifisitas, maka ahli farmakokinetika hendaknya memahami metode penetapan
kadar obat yang mana yang digunakan dalam laboratorium.
6.
Penilaian secara farmakokinetik
Setelah
konsentrasi obat dalam serum dukur, ahli farmakokinetik hendaknya menilai data
secara tepat. Sebagian besar laboratorium melaporkan konsentrasi total obat
yaitu obat bebas dan obat yang terikat dalam serum. Ahli farmakokinetika
hendaknya mengetahui rentang terapeutik yang umum dari konsentrasi obat dalam
serum dari kepustakaan. Tetapi kepustakaan mungkin tidak menunjukkan jika
harga-harga tersebut merupakan kadar palung atau kadar puncak. Lebih lanjut,
penetapan kadar yang digunakan dalam melaporkan metodologi mungkin berbeda
dalam hal spesifisitas dan ketepatan.
Hasil penetapan
kadar dari laboratorium dapat menunjukkan bahwa kadar obat dalam serum
penderita lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan kadar serum yang
diharapkan. Ahli farmakokinetik
hendaknya menilai hasil ini secara hati-hati dengan memperimbangkan
kondisi dan patofisologik penderita. Sebagai tambahan, keluhan penderita adanya
rangsangan yang berlebihan dan insomnia, mungkin juga berkaitan dengan penemuan
dari konsentrasi teofilin yang lebih tinggi daripada konsentrasi teofilin dalam
serum yang diharapkan. Oleh karena itu dokter atau ahli farmakokinetik
hendaknya menilai data dengan menggunakan pertimbangan medik.
7.
Penyesuaian
dosis
Dari data
konsentrasi obat dalam serum dan observasi penderita, dokter atau ahli
farmakokinetika dapat menganjurkan adanya penyesuaian dalam aturan dosis.
Secara ideal aturan dosis yang baru hendaknya dihitung dengan menggunakan
parameter-parameter farmakokinetik yang didapat dari konsentrasi obat dalam
serum penderita. Walau mungkin tidak cukup data untuk suatau profil
farmakokinetik yang lengkap, ahli farmakokinetik harus dapat memperoleh aturan
dosis yang baru yang didasarkan atas data yang dapat diperoleh dan parameter
farmakokinetik dalam kepustakaan yang didasarkan atas data populasi rata-rata.
8. Pemantauan konsentrasi obat dalam
serum
Dalam beberapa
kasus, patofisiologi penderita mungkin tidak stabil, apakah membaik atau
memburuk. Sebagai contoh, terapi yang tepat untuk kegagalan jantung congestive
akan memperbaiki curah jantung dan perfusi ginjal, sehingga menaikkan klirens
ginjal dari obat. Oleh karena itu perlu pemantauan yang berkesinambungan dari
konsentrasi obat dalam serum untu meyakinkan terapi obat yang tepat pada
penderita. Untuk beberapa obat respons farmakologik akut dapat dipantau sebagai
pengganti konsentrasi obat dalam serum yang sebenarnya. Sebagai contoh, waktu
pembekuan protrombin mungkin berguna untuk pemantauan terapi antikoagualan dan
pemantauan tekananan darah untuk obat hipotensive.
9.
Rekomendasi
khusus
Pada suatau
waktu karena faktor-faktor lain penderita mungkin tidak memberikan reaksi
terhadap terapi obat. Sebagai contoh, penderita tidak mematuhi intruksi
pengobatan (kepatuhan penderita). Penderita mungkin memakai obat setelah makan
yang seharusnya sebelum makan. Penderita tidak mematuhi diet khusus (misal,
rendah garam). Oleh karena itu, penderita mungkin membutuhkan instruksi khusus
yang sederhan dan mudah diikuti.
10. Rancangan aturan dosis
Ada berbagai
metode yand dapat digunakan untuk merancang suatu aturan dosis. Pada umunya,
dosis awal obat diperkirakan dengan menggunakan parameter farmakokinetik
populasi rata-rata yang diperoleh dari kepustakaan. Kemudian respon terapetik
penderita dipantau melalui diagnosis fisik. Dan jika perlu melalui pengukuran
kadar obat dalam serum. Setelah penilaian dilakukan pada penderita, maka suatu
penyesuian kembali aturan dosis dapat ditujukkan dengan pemantauan terapetik
obat lebih lanjut.
11. Aturan dosis secara individual
Pendekan yang
paling teliti untuk racangan aturan dosis adalah perhitungan dosis yang
didasarkan atas farmakokinetik obat pada penderita. Pendekatan ini tidak
memungkinkan untuk perhitungan dosis awal. Segera sesudah penderita mendapat
pengobatan, penyesuaian kembali dosis dapat dihitung dengan menggunakan
parameter-parameter yang didapat dari pengukuran kadar obat dalam serum setelah
dosis awal.
12.
Aturan
dosis didasarkan atas harga rata-rata populasi
Metode yang paling sering digunakan
untuk menghitung aturan dosis disasarkan atas parameter farmakokinetik
rata-rata yang diperoleh dari studi klinik yang telah diterbitkan dalam kepustakaan
obat. Metode ini dapat didasarkan atas suatu model yang pasti atau yang
disesuaikan.
Dalam model yang pasti
dianggap bahwa parameter farmakokinetik rata populasi dapat digunakan secara
langsung untuk menghitung aturan dosis penderita tanpa suatu perubahan.
Biasanya parameter farmakokinetik, seperti tetapan laju absorbsi, faktor
bioavaibilitas, volume distribusu dan tetapan laju eliminasi, dianggap tetap.
Paling sering obat dianggap mengikuti farmakokinetik model kompartemen satu.
Bila suatu aturan dosis ganda dirancang, maka untuk menilai dosis digunakan
persamaan dosis ganda yang didasarkan prinsip “superposisi”. Praktisi dapat
menggunakan dosis yang lazim dianjurkan oleh kepuatakaan, dan juga membuat
penyesuaian sedikit dari dosis yang didasarkan atas berat badan dan atau umur
penderita.
Bila menggunakan model yang disesuaikan untuk
menghitung suatu aturan dosis, ahli farmakokinetik menggunakan
variable-variabel penderita seperti berat badan, umur, jenis kelamin, dan luas
permukaan tubuh, serta patofisisologi penderita yang diketahui seperti penyakit
ginjal, dan juga parameter farmakokinetik obat rata-rata populasi yang
diketahui. Dalam hal ini, perhitungan aturan dosis perlu mempertimbangkan
berbagai perubahan patofisisologi penderita dan berusaha menyesuaikan atau
memodifikasi aturan dosis menurut kebutuhan penderita.
13. Penentuan dosis
Dosis suatu obat
diperkirakan dengan tujuan dapat memberikan kadar terapetik obat yang
diinginkan dalam tubuh. untuk banyak obat, kadar terapetik dan parameter farmakokinetik
obat yang diinginkan terdapat dalam kepustakaan klinik.. akan tetapi
kepustakaan dalam beberapa hal mungkin tidak memberikan informasi obat yang
lengkap, atau informasi yang ada mungkin sebagian meragukan. Oleh karena itu,
ahli farmakokinetik harus membuat anggapan (asumsi) tertentu yang diperlukan
sesuai dengan informasi farmakokinetik yang terbaik yang ada.
Suatu obat yang
diberikan untuk jangka panjang, dosis biasanya dihitung sedemikian sehingga
kadar tunak dalam darah rata-rata berada dalam rentang terapetik.
14. Penentuan frekuensi pemberian
obat
Besarnya suatu
dosis obat sering dikaitkan dengan frekuensi pemberian obat. Makin sering suatu
obat diberikan, dosis harus lebih kecil. Jadi, dosis 250 mg setiap 3 jam dapat
berubah menjadi 500 mg setiap 6 jam tanpa mempengaruhi konsentrasi tunak
rata-rata obat dalam plasma. Akan tetapi, bila jarak waktu pemberian dosis
lebih panjang, maka besaran dosis yang diperlukan untuk mempertahankan
konsentrasi rata-rata obat dalam plasma yang bersesuaian menjadi lebih besar.
Bila dipilh suatu jarak waktu pemberian dosis yang snagt panjagn, maka dosis
yang besar dapat menghasilkan kadar puncak dalam plasma diatas konsentrasi
toksik obat, walau tetap sama. Pada umunya, jarak waktu pemberian dosis untuk
sebagian besar obat ditentukan oleh waktu paruh eliminasi.
15. Penentuan rute pemberian
Pemilihan rute
pemberian yang tepat merupakan pertimbangan yang penting dalam terapi dengan
obat. Laju absorbsi dan lama kerja obat dipengaruhi oleh rute pemberian obat.
Lebih lanjut, sering ada pertimbangan fisiologik yang menghindari penggunaan
rute tertentu pemberian obat. Obat-obatan yang tidak satabil dalam saluran
cerna atau obat-obatan yang mengalami first
pass effect yang besar tidak sesuai untuk pemberian oral. Sebagai contoh,
insulin dirusak dalam lambung, obat-obatnya seperti xilokain dan nitrogliserin
tidak sesuai untuk pemberian oral karena obat hilang dengan cepat disebabkan
oleh first pass effect.
Obat-obat tertentu
tidak sesuai untuk pemberian secara intramuskular, disebabkan oleh pelepasan
obat yang tidak menentu, rasa sakit, atau iritasi lokal. Pemberian intravena
merupakan cara penghantaran obat tercepat ke dalam system sirkulasi dan cara
yang paling diandalkan. Obat yang diberikan secara i.v hilang secara lebih
cepat karena seluruh dosis dengan segera mengalami eliminasi.
16. Pemberian dosis obat pada bayi
Pemberian dosis
obat pada bayi memerlukan suatu pertimbangan yang seksama terhadap perbedaan
antara bayi dan orang dewasa sehubungan dengan farmakokinetika dan farmakologi
obat. Perbedaan komposisi tubuh dan kesempurnaan pertumbuhan hati dan fungsi
ginjal merupakan perbedaan yang potensial dalam farmakokinetika yang
berhubungan dengan umur.
Pada
umumnya, fungsi hepatic belum tercapai sampai minggu ketiga. Bayi yang baru
lahir menunjukkan aktivitas ginjal hanya 30 – 50 %. Obat-obat yang sangat
bergantung pada ekskresi ginjal akan mengalami kenaikan waktu paruh eliminasi
yang tajam.
17. Pemberian dosis obat pada orabg
usia lanjut
Perubahan
fisisologik yang disebabkan oleh umur boleh jadi memerlukan pertimbangan khusus
dalam memberikan obat pada orang usia lanjut. Komposisi tubuh dari penderita
usia lanjut berubah dalam banyak hal. jaringan lemak naik dan proses metabolit
lambat. Sebagai contoh obat-obat yang larut dalam lemak dapat berubah volume
distribusinya sehubungan dengan kenaikkan jumlah jaringan lemak.
18. Pemberian dosis pada penderita
obese
Penderita obese
mempunyai akumulasi jaringan lemak yang lebih besar dari pada keperluan untuk
fungsi tubuh normal. Menurut data metropolitan life insurance, penderita
dianggap obese jika berat bada melebihi 20% berat badan ideal. Lain halnya,
atlit yang mempunyai berat badan yang lebih besar sehubungan dengan massa otot yang
lebih besar tidak dianggap obese. Penderita obese mempunyai proporsi
keseluruhan cairan tubuh terhadap keseluruhan berat badan yang lebih kecil
dibandingkan penderita dengan berat badan ideal yang dapat memperngaruhi volume
distribusi obat. Parameter-parameter farmakokinetik yang lain pada penderita
obese dapat berubah sehubungan dengan kemungkinan perubahan fisiologik.
C.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa karena adanya perbedaan individu dalam
farmakokinetika dan farmakodinamika membuat sulit rancangan aturan dosis, maka
perlu adanya pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) untuk menilai respons
penderita terhadap aturan dosis yang dianjurkan.
Adapun Fungsi
dari pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) adalah untuk memilih obat,
merancang aturan dosis, menentukan perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam
serum, menetapkan kadar obat, melakukan penilaian secara farmakokinetik kadar
obat, menyesuaikan kembali aturan dosis, memantau konsentrasi obat dalam serum,
dan menganjurkan adanya persyaratan khusus.
Daftar Pustaka
1.
Gan Gunawan, Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta:
Gaya baru.
2. Anief, Moh. 1983. Ilmu Farmasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
3.
Shargel, Leon. 2005. Biofarmasetika dan
farmakokinetika terapan. Surabaya:
Airlanggga University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar